OPINI | BENEWS.co.id – Indonesia ialah merupakan negara hukum dengan pemerintahan yang demokratis. Pemerintahan demokrasi dalam artian bahwa pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, oleh karena itulah rakyat memiliki kekuasaan tertinggi di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu Partai politik juga memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Pasal 22 E ayat (3) UUD NRI 1945 memberikan peran konstitusional kepada partai politik sebagai peserta Pemilu anggota Dewan Perwakilan, serta Pasal 6A ayat (2) menyatakan partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Pemilu langsung dilaksanakan pertama kali pada tahun 2004 kemudian tahun 2009 dan 2014 sesuai dengan amanat Pasal 22E UUD NRI 1945 untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan wakil Presiden, dan DPRD secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Oleh : Vincensius Sembiring
Penulis merupakan mahasiswa angkatan 2020, jurusan Administrasi Publik, FISIP, Stisipol Raja Haji Tanjungpinang
Setiap lima tahun sekali, bangsa Indonesia menyelenggarakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (untuk selanjutnya disebut Pilpres). Sejak tahun 2004, Indonesia memiliki sistem pemilihan yang baru. Bila sebelumnya presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka sejak tahun 2004, Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Artinya, rakyat secara langsung bebas memilih calon pemimpinnya.
Dalam konteks pemilihan umum serentak, syarat kontestasi sistem ambang batas atau presidential threshold dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden menjadi isu krusial bagi partai politik, pemerintah, akademisi, maupun masyarakat. Upaya untuk memperkuat sistem presidensial terus dilakukan salah satunya dengan adanya aturan angka ambang batas dalam pasal 222 Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Akan tetapi presidential threshold (angka ambang batas) yang semula dianggap akan memperkuat sistem presidensial dalam sistem politik Indonesia mengalami anomali, irasional, dan tidak relevan. Dengan adanya presidential threshold, partai politik dapat mencalonkan presiden dan wakil presiden dengan ketentuan partai politik atau gabungan partai politik tersebut memiliki dua puluh persen kursi atau dua puluh lima persen suara sah nasional di pemilihan legislatif sebelumnya.
Persyaratan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia yang diatur dalam Pasal 6 UUD NRI 1945 diatur lebih lanjut dalam Undang- Undang No. 42 Tahun 2008, yang merupakan ketentuan Penyelenggaraan Pilpres di Indonesia, hingga kini masih memiliki permasalahan sehingga dibutuhkan Revisi UU Pilpres antara DPR, Akademisi, maupun Masyarakat. Adapun diantaranya mengenai ketentuan yang mengatur tentang syarat Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden pada Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 mengenai ketentuan ambang batas calon Presiden atau diistilahkan Presidental Threshold (PT), yang menyaratkan bahwa: “Pasangan calon diusulkan oleh Partai politik maupun gabunga partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (Dua Puluh Persen) dari jumlah kursi di DPR atau memperoleh 25% (Dua Puluh Lima Persen) dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR, sebelumpelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden”.
Undang-Undang Dasar 1945 sejak dulu menganut sistem pemerintahan presidensial begitulah yang semula dibayangkan oleh perancang UUD 1945. Pendapat Presidential Threshold yang terdapat dalam Pasal 9 UU Pilpres, keliru dan bertentangan dengan Pasal 6 A Undang-Undang Dasar 1945. Presidential Threshold sebesar 20 persen dalam UU Pilpres hanya akan membatasi hak politik warga Negara untuk mencalonkan diri sebagai calon Presiden dan mempersempit ruang bagi rakyat untuk mendapatkan pemimpin yang berkualitas serta bertentangan dengan sistem Presidensial dan cenderung bersifat sistem parlementer.
Menurut pandangan penulis aturan Presidential Threshold dalam pemilu serentak 2019 sebaiknya agar dapat dihapuskan saja dengan tujuan agar hak warga negara untuk menentukan pilihan sesuai dengan hati nuraninya dan agar alternatif pilihan presiden dan wakil presiden lebih banyak, sehingga dapat menentukan mana calon yang berkualitas atau tidak. Penghapusan ambang batas Presidential Threshold tidak akan mempengaruhi sistem presidensial karena kenyataannya selama presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada periode kedua berjalan sejak tahun 2009 pemerintahan juga tidak didukung oleh sepenuhnya partai pendukung yang selalu menghambat kebijakan yang dijalankan oleh presiden.
Hal ini justru sebaliknya, partai politik di DPR yang tidak masuk dalam koalisi yang kelihatannya turut mendukung kebijakan yang dijalankan oleh presiden. Pembentuk undang-undang (pemerintah dan DPR) harus memikirkan ulang tentang ambang batas (Presidential Threshold) karena hal tersebut akan membatasi rakyat untuk mendapatkan alternatif pilihan yang lebih banyak dan juga lebih baik. Pembatasan calon berarti membatasi saluran politik warga negara sebagai pemilih yang kemudian tidak mustahil akan membentuk masyarakat golongan putih (golput), karena calon mereka yang akan dipilih dari pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak ada. Penghapusan ambang batas (Presidential Threshold) juga akan berdampak pada meningkanya partisipasi warga Negara sebagai pemilih karena daya tarik calon presiden dan wakil presiden lebih banyak pilihannya.
Selain itu juga menginggat sistem presidensial yang dianut UUD 1945 merupakan sistem presidensial murni, sehingga presiden tidak dapat dijatuhkan begitu saja oleh partai politik yang duduk di parlemen (DPR), meskipun partai politik itu mempunyai kursi mayoritas di DPR. Secara teoritis basis legitimasi seorang presiden dalam skema sistem presidensial tidak ditentukan oleh formasi politik parlemen hasil pemilu legislatif. Lembaga presiden dan parlemen (DPR) dalam sistem presidensial adalah dua institusi terpisah yang memiliki basis legitimasi berbeda.
Dengan demikian, sistem presidensial akan tetap efektif dan kuat dalam pemerintahan dan sistem politik, meskipun pemilu serentak dilaksanakan tanpa harus ada persyaratan tertentu seperti Presidential Threshold bagi partai politik pengusung calon presiden dan wakil presiden. UUD 1945 itu sendiri yang menyatakan bahwa sistem presidensial yang dianut berbeda dengan negara-negara lain yang mempunyai posisi yang kuat seorang presiden dalam menjalankan pemerintahannya. Atas dasar itu, maka Presidential Threshold dalam UU Pilpres tidak perlu ada pengaturannya, karena amanat konstitusi itu mengandung makna presiden dipilih langsung oleh rakyat, sehingga legitimasi pemerintahan bukan dari partai melainkan langsung dari rakyat, partai politik berperan sebagai fasilitator dalam menjalankan mekanisme demokrasi, dan tidak akan mengurangi makna kedaulatan rakyat. Ketentuan mengenai Presidential Threshold dalam UU Pilpres harus mempertimbangkan das sollen dan das sein, oleh karena itu UU Pilpres perlu dilakukan terutama terkait dengan pengaturan Presidential Threshold, yaitu dengan menghapus Presidential Threshold dari UU Pilpres dan mengembalikan pengaturannya pada Konstitusi.(***)