BENEWS.CO.ID | KISAH – ANTARA Dapur Enam dan Dapur Tiga ada Pulau Sembukit Dari Batam ke Dapur enam tiba di pintu gerbang Sembulang Rempang masuk kedalam belasan kilometer jauhnya terdapat dapur pembakaran arang agaknya sekarang jumlahnya lebih enam buah. Perkampungan melayu, suku laut ada yang muslim dan tak muslim, sebelum masuk ke kampung itu ada Tanjung Banun namanya.
Dalam perjalanan, Antara dapur enam dan dapur tiga, Ada keluarga suku laut namanya Lukman adiknya Laili alias Togog baru di khitan dan mengucap dua kalimat syahadat.

Ke Dapur tiga pula terus ke Selatan sekitar lima ratus meter dari Rumah sakit Covid Galang ada simpang ke Air Naga Cijantung Galang terletak Dapur tiga yang juga belasan kilometer jauhnya dari jalan raya trans Barelang.
Penduduk di Dapur tiga ini bermacam ragam suku dan agama. di Depan sebuah masjid terdapat sebuah paroki katolik. Disitu ada pak Mok alias Hamid lelaki menjelang enam puluh tahun kerjanya bawak pompong anak sekolah ke Galang.

Aku acap memakai jasanya dengan pompongnya ke pulau pulau bwrsekatan dengan Dapur tiga itu.
“Yok ke Sembukit pak,” ajakku pada pak Mok yang masih kerabat dengan dengan pak Ramli pak Umar orang yang tinggal di Tanjung Fundap jembatan satu itu.
Di Sembukit belasan tahun aku dibawa oleh pak Haji Sulaiman dari pantai Melayu Rempang. Di Sembukit itu ada seorang lelaki bernama Ameng muallaf yang berganti nama Ahmad. Adik Ameng yang bernama Abun konon nak menikah dengan perempuan kerabat pak Sulaiman dari pulau Karas. Saat itu Abun pun sudah di khitan dan tengah hari itu kesempatan bertemu Ameng dan Abun. Abengpun kami syahadatkan. nama barunya dipilih Abu Bakar
Salahku juga sejak itu jarang ke Sembukit tersita kesibukan yang lain. Abun dan Ozi menikah secara Budha. dan hingga kini Ozi pun beragama Budha.
Ameng menikah di Tanjung Pinang dengan mbak Tri asal Jawa Tengah secara Islam. Hingga kini Mbak Tri dan Ameng tinggal di pulau Sembukit. Dan keluarga ini lah satu satunya keluarga muslim di pulau itu. Itu Andika anak saya paling besar kata mbak Tri. Andika sudah kelas tiga SMA di Galang.
Abun pula sudah bebeberapa tahun ini pindah di Galang.
Rumah Abun terletak persis di depan Sekolah Mts Galang disitu ada masjid. Samping Sekolah SMA Negeri Galang.
Lepas dari Sembukit aku bergegas kembali ke Dapur Tiga, hanya sepelemparan batu saja selat yang memisahkan kedua pulau itu. Kalau ke Dapur enam agaknya sepuluh lebih pelemparan.
Dari Dapur tiga tiba di masjid Mts Galang yang tak jauh dari camp pengungsi vietnam dulu. Terdengar azan ashar. Lepas Ashar kuajak ustadz Azhar pengajar di SD Galang itu menemaniku menemui keluarga Abun. Sayang Abun tak ada di rumah sedang ke laut hanya bertemu dengan kak Ozi dan keempat lelaki anaknya.
Kami pun cerita masa lalu didengar psk Azhar dan anak anak Kak Ozi.
Jadi kita orang islam ya mak tanya Satria anak lelaki keempat pasangan Abun dan Ozi. Kulihat Ozi agak terkesima dan melirikku.
Tanya ayah sajalah elaknya. Setelah kuberi tahu ayahnya pernah disyahadatkan dulu dan kutunjukkan poto potonya.
Ternyata Satria murid ustadz Azhar, selama ini ia mengaku islam dan ikut belajar praktik sholat di Sekolah Dasar di Galang itu. Anak Abun dan Ozi pun sudah remaja.
Emak di Karas sudah meninggal tinggal ayah lagi sudah tua sakit sakitan kata Ozi sendu . Sesekali kami ke Karas mengunjunginya tambah Ozi lagi.
Kalau itu terpulanglah Abun saja bapak bicara dengannya kata Ozi saat kutanya nak ke Islam lagi macam dulu tujuan semula. Dulu tak ade orang yang nak peduli kami sesalnya.
Beginilah nasib kami hidup di pulau pulau ini. tak tau kemana tempat mengadu.
(Sumber : Imbalo Batam)